Sebuah berita yang menarik untuk kami ulas adalah kabar dari Anggota Dewan ( DPRD ) di Kota Malang - Jawa Timur yang tersangka kasus korupsi. Yang luar biasa adalah dari 45 orang anggota DPRD kota Malang telah ditetapkan KPK dalam kasus korupsi sebanyak 41 orang. Waw ..... berita yang sudah sering kami dengar secara lisan juga terjadi di wilayah kami tetapi baru kami baca diberitakan dalam media anggota DPRD secara berjamaah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi.
Walupun tidak secara serentak ditetapkan sebagai tersangka, tetapi menurut KPK ke 41 orang anggota DPRD kota Malang periode 2014-2019 ini ditetapkan sebagai tersangka dalam tiga gelombang. Penetapan gelombang ke-3 ditetapkan tgl 3 September 2018. Penetapan gelombang pertama adalah ketika Eks- ketua DPRD yaitu Arif Wicaksono dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Pengawasan Bangunan (DPUPPB) kota Malang " Jarot Edy Susistyono" ditetapkan sebagai tersangka. Anggota DPRD dari partai kepala banteng bermoncong putih ini sudah divonis terhukum 5 tahun pada bulan Juni 2018 yang lalu. Gelombang ke-2 ditetapkannya 22 orang anggota DPRD Malang pada bulan Maret 2018 dan Gelombang ke-3 sebanyak 22 orang anggota DPRD Malang yang ditetapkan sebagai tersangka pada bulan September 2018.
Lembaga Legislatif di DPRD kota Malang kini praktis tinggal 4 orang anggota yaitu Subur Triono ( PAN ), Priyatmoko Oetomo (PDI-P), Tutuk Haryani (PDI-P) dan Nirma Cris Desinidya (Hanura). Nirma Cris merupakan anggota hasil pergantian antar waktu yang menggantikan Yuqud Ananda Gudban yang telah menjadi terdakwa tindak pidana korupsi. Dan ditambah wakil ketua dan pimpinan dewan yaitu Abdurrahman (PKB).
Anggota DPRD yang tersangkut kasus korupsi sekitar 41 orang tersebut menerima suap antara Rp 12,5 juta sampai Rp 50 juta rupiah per orang dari Wali Kota Malang {Moch Anton} supaya DPRD menyetujui rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD tahun anggaran 2016. Pada 27 Maret 2018 KPK telah menahan Wali kota Malang Moch Anton dan dua orang anggota DPRD Kota Malang
Menurut pemberitaan yang kami telusuri, kasus serupa juga pernah terjadi di Sumatra Utara dimana ada 38 dari 100 anggota dewan yang menjadi tersangka penerima suap dari Eks Gubenur Sumut " Gatot Pujo Nugroho (Detik.com tertanggal 3/4/2018) dan (Kompas.com tertanggal 30/03/2018). Ke 38 orang anggota DPRD periode 2009-2014 dan 2014-2019 sebagai tersangka suap berupa hadiah atau janji dari Mantan Gubenur Provinsi Sumatra Utara "Gatot Pujo Nugroho " terkait dengan fungsi dan kewenangan ke-38 orang sebagai anggota dewan pada periode tersebut. Penetapan ke-38 orang sebagai tersangka ditetapkan KPK berdasarkan surat KPK tanggal 29 Maret 2018 yang ditujukan kepada Ketua DPRD Provinsi Sumut. Ke-38 orang anggota DPRD SUmut tersebut dijerat dengan Pasal 12 huruf b atau pasal 11 undang-undang no 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan UU no 20 tahun 2001 jo Pasal 64 ayat 1 dan pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dibawah ini kami berikan pasal-pasal yang dijatuhkan kepada mereka seperti tersebut diatas pada UU no 20 tahun 2001 yaitu pasalah 11 dan 12 B sebagai berikut :
Gambar UU tindak pidana Korupsi
Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Pasal 12
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau
i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
3. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 12 A, Pasal 12 B, dan Pasal 12 C, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12 A
(1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 12 B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 12 C
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
(1) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang- undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kasus korupsi di negeri ini masih sangat parah, yang miris bagi kami adalah jelas - jelas negara ini sudah berhutang sampai ribuan triyun rupiah tetapi dana hutang tersebut masih - saja di korupsi.
Kasus korupsi tidak hanya terjadi pada kedua kasus yang kami sebutkan diatas. Menurut Kompas.com tertanggal 23 September 2018 dengan judul KPK: anggota DPRD yang terjerat Korupsi 3.600 orang. Membaca berita tersebut menjelaskan bahwa kasus korupsi lebih banyak dilakukan oleh anggota DPRD dibandingkan dengan kepala daerah yang dipilih lansung oleh rakyat. Bambang Widjojanto menyebutkan data dari Djohermansyah Johan ( Direktur Jendral Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri ) mengatakan bahwa kepala daerah yang terjerat kasus korupsi sebanyak 290 orang, sedangkan anggota DPRD yang terjerat kasus korupsi sebanyak 3.600 orang. Data tersebut tidak menyebutkan pada rentang waktu berapa tahun.
Menurut Bambang W menyebutkan bahwa lebih banyak anggota DPRD yang melakukan korupsi daripada kepala pemerintahan (Eksekutif )/ Kepala Daerah kami pribadi tidak setuju. Mengingat lembaga eksekutif / Kepala Daerah hanya 1 orang dan 1 orang wakil sedangkan lembaga legislatif di suatu daerah ( DPRD ) sekitar 40 s/d 100 orang tergantung kepadatan penduduknya. Memang secara kwantitas jumlah anggota DPRD yang terjerat korupsi lebih banyak dibanding jumlah kepada daerah yang terjerat korupsi. Tetapi secara kwalitas data tersebut kurang tepat. Jika kita asumsikan rata - rata anggota DPRD sebanyak 45 orang maka dengan membandingkan jumlah kepala daerah yang terjerat korupsi ( 290 orang ) maka perbandingannya adalah 45 orang x 290 orang kepala daerah = diperoleh angka 13.050 orang. Pembanding antara kepala daerah dengan anggota DPRD yang terjerat korupsi dengan perbandingan 290 orang sebanding dengan 13.050 orang. Sedangkan data dari Djohermansyah Johan hanya 3.600 orang anggota DPRD yang terjerat kasus korupsi. Jadi jika kita persentase diperoleh 27,6 % dari 13.050 orang anggota DPRD pembanding kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Sehingga menurut kami masih lebih banyak eksekutif / kepala daerah yang melakukan korupsi sedangkan anggota DPRD hanya 27,6 %.
Mudah - mudahan artikel kami ini menambah wawasan anda, dan kami berharap di Indonesia kasus korupsi bisa semakin diberantas. Kami sangat Prihatin terhadap bangsa ini; sudah berhutang ribuan triyun masih saja di korupsi. Mari kita bekerja dengan jujur dan amanah untuk pembangunan negara Indonesia yang lebih baik.
0 komentar:
Post a Comment