BAGAIMANA SEBUAH TENDER PROYEK APBN - APBD DI GULIRKAN dan Peluang Rekayasa Tender, ada Mafia Tender. LKPP berfungsi sebagai kompetitor bukan sebagai regulator dalam pengadaan barang/ jasa pemerintah.

Pada postingan kali ini kami ingin mengungkap beberapa fakta di lapangan tentang tender proyek dari program yang direncanakan dalam APBN maupun APBD baik APBD Provinsi maupun APBD Kabupaten / Kota. Kami menyoroti tentang mafia tender, rekayasa tender dan intervensi pejabat dalam pengadaan barang/ jasa pemerintah. Kami juga menyoroti penggunaan Katalog Elektronik yang dikeluarkan oleh LKPP yang menurut kami merupakan toko online baru. LKPP hendaknya bukan sebagai kompetitor dari situs- situs jual beli online, menurut kami LKPP bisa memfasilitasi pengadaan barang/ jasa pemerintah dengan menerima/ merangkul pelaku toko online seperti bukalapak, lazada, dll. Menurut kami LKPP buka kompetitor / pesaing tetapi lebih sebagai regulator dalam pengadaan barang/ jasa pemerintah.

Jika kita mau mencermati untuk pengadaan barang dan jasa sudah diterbitkan Peraturan Presiden No 54 tahun 2010 sebagai panduan juga pemerintah juga mengesahkan peraturan pendukung seperti UU no 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Juga ada peraturan Pemerintah No 29 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Peraturan Pemerintah No 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah. Peraturan peraturan yang kami sebutkan diatas adalah peraturan yang menjadi dasar bagi penyelenggara negara dan pelaku usaha dalam upaya pengadaan barang / jasa pemerintah.
Walaupun sudah disahkan peraturan peraturan tersebut diatas masih saja terdapat celah dilakukannya APBN/ APBD yang tampaknya seperti salah urus, dikorupsi, perilaku nepotisme dan praktik suap menyuap.
Menurut kami sudah menjadi rahasia umum proses pengadaan barang / jasa pemerintah diselenggarakan dengan rekayasa dan praktik - praktik yang menyimpang, walaupun praktik menyimpang ini tampak transparan dan sesuai dengan peraturan dan undang- undang yang kami sebutkan diatas.

Sumber gambar : dari berbagai sumber

Apabila melibatkan uang atau diistilahkan lahan basah bagi penyelenggara negara yang dilakukan dengan tidak jujur, praktik - praktik mencari untung sendiri sangat nyata dan hampir tersebar di seluruh komponen - komponen bangsa ini. Mungkin jika anda bertanya apa dasarnya ? kami masih mencari dasar yang kuat tetapi kami menyadari bahwa pendapat tersebut adalah asumsi kami semata.

Kami tertarik dengan tulisan Masri Hanus, MA dalam www.koran-jakarta.com/tender-proyek-pemerintah/ yang menyebutkan bahwa pejabat pemerintah dari unsur atasan langsung unit pengelola proyek / program tertentu disertai dengan pejabat pembuat komitmen ( PPK ) langsung maupun tidak langsung menyukai praktek intervensi terhadap proyek pengadaan barang / jasa pemerintah yang menggunakan uang rakyat. Tentu saja proses pengadaan tersebut tampak sesuai dengan undang - undang dan tampak sangat transparan walaupun sebenarnya dibalik semua itu penuh dengan rekayasa. Pengadaan barang / jasa seolah oleh efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil / tidak diskriminatif dan tanpaknya akuntabel tetapi sejatinya penuh dengan rekayasa ( dikondisikan ). Tidak jarang penetapan Pejabat Pengadaan, penetapan Panitia / Pejabat Penerima hasil pekerjaan, pengawasan pelaksanaan anggaran, penetapan tim teknis atau tim juri / tim ahli sudah direkayasa dari awal oleh pejabat pemerintah.

Idealnya Pejabat pemerintah, PPK, panitia tender harus bisa mencegah permainan proyek, walaupun pada prakteknya hal ini sangat sulit. Dilapangan tidak jarang pejabat bahkan mengambil inisiatif dalam proses pengadaan barang / jasa pemerintah ini. Dan kami juga merasa aneh mengingat praktek ini dilakukan selama bertahun- tahun tetapi tidak ada tindakan tegas. Sehingga terkesan prosedurnya harus seperti itu ? dan jika ada tindakan tegas kami merasa optimis nanti akan mempersalahkan oknum dan pelaku langsung dan tidak sampai menindak pelaku cukong atau pelaku utama yang adalah pejabat tertentu.

Seolah olah perilaku curang dan praktek intervensi serta rekayasa tender bukan pelanggaran. Jika kita mencermati peraturan dan undang - undang yang disahkan sudah berusaha menutup celah itu tetapi tetap saja masih bisa dipermainkan. Menurut kami yang lemah adalah fungsi pengawasan atau kontroling dalam regulasi pengadaan barang / jasa pemerintah dalam praktek di lapangan.

Sebelum membahas lebih jauh kami ingin memberikan penjelasan apa yang dimaksud Pengadaan barang / Jasa pemerintah seperti yang tertuang dalam Perpres No 54tahun 2010. Pengadaan Barang / Jasa pemerintah merupakan bentuk kegiatan untuk mendapatkan barang / jasa oleh Kementrian / lembaga / satuan kerja di perangkat Daerah / Institusi ( lembaga pemerintahan ) lainnya dimana proses pengadaannya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan dalam mendapatkan barang / jasa yang dibutuhkan sesuai dengan program pemerintah yang dituangkan dalam APBN / ABPD. Yang dimaksud barang disini adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak yang bisa diperdagangkan, dipakai, digunakan atau dimanfaatkan oleh pengguna barang. Bisa juga berwujud pekerjaan konstruksi, jasa konsultasi, atau jasa lain yang membutuhkan ketrampilan tertentu. Biaya pengadaan barang / jasa yang dimaksud bersumber dari APBN / APBD. Pelaksanaan pengadaan barang / jasa diatas dilakukan melalui swakelola atau bisa juga pemilihan penyedia barang / jasa.

Praktek buruk rekayasa tender proyek pengadaan barang / jasa tentu merugikan negara. Kwalitas barang dan jasa yang diterima oleh pengguna juga berkwalitas jelek demikian dengan kwalitas proyek fisik juga akan asal - asallan di lapangan dan tampak baik dilaporannya. Atau bisa jadi waktu pengerjaan yang sangat lama dan berlarut-larut, sehingga harus melalui beberapa tahun anggaran dan akhirnya proyek itu terlupakan karena lebih memprioritaskan anggaran berjalan.

Umumnya pelaksanaan tender pengadaan barang/ jasa melibatkan praktik sogok - menyogok, penggunaan uang sabun atau uang pelicin untuk memenangkan tender. Perlu diketahui bahwa peruhaan pemenang tender yang menggunakan fee / uang pelicin umumnya mereka (pemenang tender) akan menghitung jumlah fee yang mereka keluarkan dalam pelaksanaan tender yang dimenangkan. Fee yang mereka keluarkan bukan uang berbeda, tetapi  diperhitungkan dalam pelaksanaan tender nantinya. Perusahaan pemenang tender tidak ingin rugi. Secara ekonomi mereka akan menerapkan prinsip pengeluaran yang sekecil-kecilnya untuk menghasilkan pundi-pundi / penghasilan sebesar-besarnya. Dengan sedikit berkorban untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal.

Jika kita cermati dengan baik-baik keuntungan standart yang diperoleh perusahaan dalam melaksanakan proyek pemerintah sekitar 10 % dari total nilai proyek. Apabila perusahaan mengambil keuntungan lebih dari 10 % bisa dipastikan mereka akan mengurangi kwalitas, menurunkan standart kwalitas yang seharusnya.
Sebenarnya peluang suap -menyuap sudah dibatasi melalui metode pelelangan umum yang tidak ada negosiasi teknis dan harga seperti yang tertuang pada pasal 36 ayat 4 pada perpres No 54 tahun 2010.

Menurut Perpres No 54 tahun 2010 dalam proses pemilihan penyedia barang / jasa dapat dilakukan melalui pelelangan umum dan pelelangan sederhana, bisa melalui penunjukan langsung, pengadaan langsung atau melalui kontes / sayembara ( khusus untuk kontes / sayembara dilakukan jika apabila merupakan hasil insdustri keratif, inovatif atau budaya dalam negeri). Sedangkan untuk penyedia pekerjaan konstruksi dilakukan melalui pelelangan umum, pelelangan terbatas, pemilihan langsung, penunjukan langsung atau pengadaan langsung.

Perpres No 54 tahun 2010 menyebutkan pada pasal 37 bahwa pengadaan pekerjaan yang sederhana paling tinggi Rp 200.000.000 dapat dilakukan dengan pelelangan sederhana atau dengan pemilihan langsung  ( khusus untuk pengadaan pekerjaan konstruksi ) maka dengan standar keuntungan 10 % maka bisa dipastikan pihak perusahaan akan diuntungkan sebesar Rp 20juta.  Pasal 39 menyebutkan bahwa pengadaan barang / pekerjaan konstruksi / jasa lainnya dengan  dana paling tinggi Rp 100 juta juga bisa dilakukan dengan pengadaan langsung. Tentu dengan beberapa syarat dan kriteria seperti yang tertuang dalam Perpres No 54 tahun 2010.

Gambar : Perbandingan E-Catalogue dengan Tokopedia

Pengadaan barang / jasa dengan menggunakan E-Purchasing (pembelian barang dengan melalui sistem katalog elektronik ) Dalam pemilihan barang dan jasa, pihak pemerintah telah menyediakan jasa online berupa Katalog Elektronik atau dikenal dengan istilah E-Catalogue yang disediakan oleh LKPP (Lembaga  Kebijakan  Pengadaan  Barang/Jasa  Pemerintah).  Menurut Perpres no 5 tahun 2010 katalog elektronik atau disebut juga E-Catalogue merupakan sistem informasi secara resmi dikeluarkan oleh pemerintah berupa informasi elektronik yang memuat daftar, jenis, spesifikasi teknis dan harga barang tertentu dari berbagai rekanan / mitra penyedia barang / jasa pemerintah.
Kami mencoba mengakses  katalog elektronik ini, menurut kami sudah lumayan. Menurut pemantauan kami harga barang di Katalog Elektronik ini rata- rata lebih murah dibanding dengan harga barang yang sama di situs - situs online seperti Shopee, Bukalapak, Tokopedia, Lazada. Juga disediakan kontak percon yang bisa dihubungi.
Walaupun jika dilihat dari harga lebih murah tetapi tidak menyertakan free ongkos kirim. Seperti di katalog elektronik tersebut masih ada biaya ongkos kirim. Jika benar maka kemungkinan biaya / harga barang yang sama di katalog elektronik lebih mahal dari harga barang yang sama di situs - situs online yang memberikan free ongkos kirim.
Pertanyaan kami adalah mengapa pemerintah tidak bekerja sama dengan situs- situs penyedia jasa jual beli seperti yang kami sebutkan diatas. Memang menurut kami katalog elektronik yang dikeluarkan oleh LKPP seperti toko baru. LKPP membuat toko online baru bukan sebagai regulator / pengatur tetapi terkesan sebagai pesaing situs-situs online yang sudah ada. Hal ini yang menurut kami perlu menjadi perhatian serius, menurut kami LKPP bisa bekerja sama dengan situs- situs jual beli online tentu saja LKPP sebagai regulator, sehingga LKPP bukan membuat atau menjadi kompetitor tetapi sebaiknya LKPP memfasilitasi dan memberdayakan produk- produk dalam negeri yang ditampilkan oleh situs - situs online yang sudah ada.

Menurut kami jika mereka diberi kesempatan yang sama, jika kendala pada tanda bukti perjanjian seperti yang tertuag dalam pasal 55 Perpres No 54 tahun 2018 seperti Tanda bukti perjanjian, jika nilainya sampai dengan Rp 5 juta maka bukti pembelian sebagai tanda bukti. Berupa kwitansi jika nilai barang mencapai Rp 10 juta. Bukti Surat Perintah kerja (SPK) jika nilai barang / jasa  sampai Rp 100 juta atau jasa konsultan dengan nilai diatas Rp 50 juta. Menurut kami mereka bisa menyediakannya, dan semuanya bisa menyesuaikan dari ketentuan LKPP. Karena LKPP sebagai regulator dalam pengadaan barang/ jasa pemerintah berupa katalog elektronik.

Untuk melengkapi artikel ini kami tertarik untuk mempublikasi hasil sebuah survei yang dilakukan oleh Indonesia Procurement Watch ( IPW ) seperti yang ditulis oleh Masri Hanus,MA seperti tertulis dalam www.koran-jakarta.com/tender-proyek-pemerintah yang menyatakan bahwa IPW pernah melakukan survei di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Hasil survei memperlihatkan 89 % dari penyedia barang dan jasa rekanan pemerintah diduga menyuap agar menang tender. Temuan IPW lainnya menyebutkan 92 % rekanan penyedia barang/ jasa rekanan pemerintah pernah menyuap dalam mengikuti tender dan 89 % diantaranya ternyata sebagai pemenang tender. Survei lebih lanjut menuliskan bahwa 72 % inisiatif pemberi suap dari aparat pemerintah. dan yang paling memprihatinkan menurut kami adalah pertanyaan menyebutkan hampir tidak mungkin pengusaha / rekanan dapat menang tender jika tanpa menyuap.

Apa artinya data dan suvei yang dilakukan oleh IPW seperti kami sebutkan diatas ? pertanyaannya adalah sudah berapa lama praktek tidak benar ini berjalan ? Mengapa para pengambil keputusan seolah - olah tidak mengetahui atau mungkin pura - pura tidak mengetahui.

Menurut Nur Indah Fatmawati seperti yang tertulis pada  news.detik.com/berita dengan artikel  berjudul Ini Celah Korupsi Suatu Proyek dengan Skema Anggaran Tahun Jamak menuliskan  setidaknya ada 10 bentuk penyimpangan dalam pengadaan barang / jasa pemerindah. Nur Indah F menuliskan  yaitu pemberian suap, Penggelapan (embezzlement), Pemerasan (extortion), Penyalahgunaan jabatan atau wewenang (abuse of discretion), Pemalsuan (fraud), Pilih kasih (favoritism), Pertentangan kepentingan/memiliki usaha sendiri (internal trading), Nepotisme (nepotism), Kontribusi atau sumbangan ilegal (illegal contribution) dan Menerima komisi (commission).
Menurut kami yang lemah adalah sistem controling, fungsi controling dalam melakukan kegiatan - kegiatan pembangunan keadaan tersebut didukung oleh mental SDM yang kurang baik. Semangat untuk membangun untuk kesejahteraan bangsa dan negara sudah mulai terkikis, walaupun tidak sampai habis. Sebenarnya kita saat ini tidak harus berjuang mempertaruhkan nyawa, kita sudah merdeka, tinggal bagaimana kita mengisi kemerdekaan ini untuk mencapai cita - cita bangsa  yaitu menuju Indonesia yang adil dan makmur.

Semoga artikel ini bermanfaat. 
Share on Google Plus

About Restsindo

0 komentar:

Post a Comment