Pada postingan kami sebelumnya tentang partai politik berdasarkan UU no 2 tahun 2008 dan UU no 2 tahun 2011 serta PP no 1 tahun 2018 tentang bantuan Keuangan terhadap partai politik . Kali ini kami akan membahas sumber - sumber keuangan partai politik berdasarkan undang - undang dan kekuasaan perwakilan partai di legislatif sampai pada pendapatan yang diperoleh oleh anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten / kota serta perilaku tidak terpuji dari anggota dewan dan keluarganya.
Menurut UU no 2 tahun 2011 pada pasal 34 tentang sumber keuangan Partai Politik berasal dari Iuran anggota, Sumbangan yang sah menurut hukum, bantuan keuangan dari APBD/ APBD (Provinsi maupun Kabupaten / kota ). Bantuan dari APBN / APBD berdasarkan jumlah suara sah pada pemilu dan sesuai dengan PP no 1 tahun 2018 besarnya bantuan untuk DPR RI sebesar Rp.1000 per suara sah, DPRD Provinsi sebesar Rp 1.200 per suara sah dan DPRD Kabupaten / Kota sebesar Rp 1.500 per suara sah. Pemberian bantuan dari APBN / APBD diberikan setiap tahun anggaran berjalan.
Pada pasal 34 A Partai politik wajib menyampaikan laporan pertanggung jawaban penerimaan dan pengeluaran dari dana bantuan APBN / APBD kepada BPK secara berkala 1 tahun sekali paling lambat 1 bulan setelah tahun anggaran berakhir dan harus siap diaudit oleh BPK. Sedangkan sumber pendapatan partai dari iuran anggota dan sumbangan yang sah menurut hukum hanya untuk intern partai politik. Partai politik tidak wajib melaporkan dan tidak wajib diaudit oleh lembaga akutan publik. Padahal menurut kami bentuk - bentuk kebocoran paling banyak pada dana iuran anggota dan sumbangan. Bisa jadi iuran dan sumbangan oleh partai politik dianggap sebagai dana hibah, yang tidak perlu di audit lebaga diluar partai, cukup hanya diaudit secara intern saja.
Dalam UU NO 2 tahun 2011 pada pasal 35 disebutkan secara jelas bahwa sumbangan secara perseorangan maksimal Rp 1 miliar per orang dalam kurun waktu 1 tahun anggaran, sedangkan sumbangan dari perusahaan atau badan usaha paling banyak Rp 7,5 miliar per perusahan atau badan usaha dalam kurun waktu 1 tahun anggaran. Sumbangan dari perusahaan atau badan usaha berdasarkan UU No 2 tahun 2011 lebih tinggi dibanding sumbangan yang sama berdasarkan UU no 2 tahun 2008 yaitu sebesar maksimal Rp 4 miliar per tahun anggaran. Bentuk pemberian sumbangan didasarkan pada prinsip kejujuran, sukarela, keadilan, terbuka, tanggung jawab, serta kedaulatan dan kemandirian Partai Politik.
Aturan ini menurut kami memiliki banyak celah yang bisa dimanfaatkan oleh oknum - oknum tidak bertanggung jawab yang mengatas namakan kejujuran, sukarela, keadilan.
Kami mengapresiasi aturan menurut pasal 36 UU no 2 tahun 2018 bahwa bahwa penerimaan dan pengeluaran keuangan partai politik dikelola melalui rekening kas umum partai politik, bukan rekening perorangan. Aturan ini akan memudahkan PPATK untuk memonitor keuangan partai, dana masuk dan keluar dari rekening kas partai.
Hanya saja sampai artikel ini kami tulis kami belum mendapatkan data laporan hasil pemeriksaan pertanggung jawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan partai polik yang seharusnya terbuka untuk diketahui masyarakat seperti tertuang dalam pasal 38 UU no 2 tahun 2008. Alangkah lebih baik jika rekening yang dimaksud adalah rekening terpisah dari rekening - rekening pribadi. Rekening yang khusus untuk kegiatan dan operasional partai politik.
Hasil laporan pemeriksaan pertanggung jawaban penerimaan dan pengeleluaran yang terbuka untuk diketahui oleh masyarakat dapat tercapai apabila dalam partai politik pengelolaan keuangan partai politik dilakukan secara transparan dan akuntable, dan setiap partai harus bersedia laporan penerimaan dan pengluaran diaudit oleh akuntan publik. Tentu saja dengan catatan akuntan publik harus independent, bukan bagian dari partai dan bukan rekanan partai, harus benar - benar independent dan kredibilitas akuntan publik harus baik dimata masyarakat dan terregulasi oleh lembaga akuntan negara. Karena akuntan publik ini bisa di tafsirkan akuntan yang dikenal masyarakat pendukung partai, sehingga pengambilan keputusan akuntan ybs tidak jujur dan cenderung membela partai. Alangkah lebih baik jika akuntan publik yang dimaksud oleh UU no 2 tahun 2011 seperti pada pasal 39 adalah akuntan yang terregulasi oleh pemerintah, bukan akuntan yang asal go publik.
Jika mencermati UU no 2 tahun 2008 dan UU no 2 tahun 2011 tentang partai politik, sudah banyak hal yang telah diatur dan disempurnakan, tetapi tetap saja semua yang tertata dan diatur masih saja memiliki celah untuk dilanggar. Hal ini menurut kami adalah faktor mental dari pelaku - pelaku dalam partai politik, orang - orang yang terlibat di dalam partai politik. Kami sebenarnya sangat antusias dengan peraturan Komisi Pemilihan Umum ( PKPU ) nomer 20 tahun 2018 yang sesuai Pasal 240 dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 yaitu "Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana" menurut kami tujuannya agar orang orang yang melakukan tindak pidana apalagi yang eks pidana korupsi tidak dicalonkan lagi agar memberi efek jera. Tetapi kenyataannya justru Uji materi PKPU No 20 tahun 2018 oleh MA di kabulkan, sehingga dengan dikabulkannya uji materi oleh MA pada 13 September 2018 tersebut akan memberikan peluang bagi mantan Eks koruptor untuk mencalonkan kembali sebagai calon legislatif. Walaupun sebenarnya kami juga memahami maksudnya bahwa yang bersangkutan bisa saja sudah tobat dan insyaf. Tetapi tidak ada jaminan mereka benar benar bertobat, bisa saja setelah mereka sekolah di lembaga pemasyarakatan bertemu dengan koruptor yang lebih hebat lagi justru menambah ilmu dan strategi yang lebih baik dan lebih licik dan lihai dalam melakukan korupsi. Dengan dikabulkannya uji materi larangan mantan napi korupsi maju menjadi caleg tidak memberikan efek jera. Kami menilai seolah - olah Indonesia ini kekurangan orang yang lebih baik, padahal tahun 2018 ini Penduduk Indonesia sudah mencapai sekitar 265 juta jiwa. Bagi kami sebaiknya setiap putusan pengadilan terkait kasus Korupsi minimal di hukum penjara 6 tahun sehingga memberikan efek jera. Kenapa karena jika ada putusan pengadilan bahwa yang bersangkutan pernah dipenjara lebih dari 5 tahun maka bagi dia kesempatan untuk menjadi calon kepala desa, calon ASN, Calon legilatif, calon bupati dan calon gubenur maupun calon presiden tidak ada lagi. Efek jeranya akan lebih terasa bagi para pelaku korupsi / koruptor.
Kami secara pribadi sangat menyayangkan kenapa MA mengabulkan uji materi peraturan KPU yang melarang mantan napi korupsi maju menjadi caleg. Ini adalah kemunduran dari niat memberantas koruptor. Silahkan anda baca https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44868639 " tentang Berbagai parpol ‘tetap nekad’ usung bakal caleg mantan napi kasus korupsi ke KPU. Dari berita tersebut partai politik besar seperti Golkar, Gerindra,Demokrat, PDIP mengusung bakal calon legislatifnya dari Eks Napi Korupsi/ Eks Koruptor. Jika keadaan ini diserahkan kepada pemilih, bagaimana caranya agar pemilih ini mengetahui caleg yang akan dipilih adalah Eks Koruptor ?.
Menurut kami seorang koruptor dia akan mengulanginya lagi karena korupsi lebih cepat mendapatkan harta, seorang koruptor adalah aib Bangsa dan Negara. Dia sudah menggelapkan dan makan uang rakyat padalah dia sudah mendapat gaji yang menurut kami sangat tinggi dari UMR nasional. Tetapi kenapa masih saja mereka menjadi calon legislatif, calon wakil rakyat. Apakah rakyat ini termasuk koruptor sehingga wakilnya adalah eks koruptor ? Apakah memang tidak ada keseriusan dari para pengambil keputusan untuk memberantas korupsi di negeri ini !!!!!
Sekilas kami membandingkan kekuasaan dengan pendapatan dari seorang anggota dewan jika dilihat dari sudut pandang pengusaha maka pendapatan itu tidak seberapa, tetapi jika dilihat dari sudut pandang masyarakat umum maka pendapatan yang diterima anggota dewan per bulan sangat tinggi sekali berbanding terbalik dengan UMR - UMP dan UMK tahun 2018 sekitar 10 sampai 20 kali lipat. Menurut kami jika dilihat dari pendapatan seorang anggota dewan yang masih harus dipotong sebagai sumbangan wajib atau setoran rutin untuk partai politik yang mengusung mereka duduk di kursi empuk ya masih sangat tinggi. Tetapi ada lagi yang lebih luar biasa adalah kekuasaan yang didapat dari seorang anggota dewan. Kebal terhadap hukum, dan "bebas dari aturan - aturan yang mengikat masyarakat", belum lagi proyek - proyek dari APBN / APBD Provinsi / APBD Kabupaten- Kota yang terkadang diambil alih oleh kroni - kroni , keluarga besar dari anggota dewan. Proyek - proyek ini justru merupakan penerimaan yang jauh lebih besar dari pendapatan bulanan anggota dewan. Tidak jarang kami mendengar orang dekat anggota dewan mendapatkan tender proyek besar dan tender itu masih di sub tenderkan lagi, sehingga pratis kroni / keluarga anggota dewan dapat proyek besar dan yang melaksanakan proyek orang lain / perusahaan lain yang tentu saja besarnya tender proyek sudah dikurangi. Dengan kata lain proyek itu hanya lewat saja, walaupun penanggung jawab utama adalah pemenang tender dari kroni atau anggota keluarga anggota dewan.
Belum lagi surat - surat sakti dari anggota dewan yang dapat mempengaruhi kebijakan eksekutif dalam pengambilan keputusan. Hal ini memang tidak akan pernah terungkap oleh BPK, KPK karena berupa surat sakti yang bersifat pribadi. Keadaan ini berlangsung bertahun - tahun sejak mungkin Indonesia merdeka. Mafia - mafia anggota dewan, tikus- tikus kantor yang berdasi berwajah manis tetapi menggerogoti uang rakyat.
Terkait dengan upah atau gaji soorang anggota Dewan baik di DPR RI di DPRD Provinsi maupun di DPRD Kabupaten / kota yang besarnya berpuluh-puluh kali lipat dari UMR. Bagi anggota Dewan yang berlatar belakang seorang pengusaha sukses atau artis papan atas yang sebelum mereka menjadi anggota dewan pendapatannya ber milyar - milyar rupiah kemudian menjadi anggota dewan yang hanya meneruma pendapatan sebesar Rp 45 juta s/d Rp 55 juta per bulan akan berfikir bahwa "kecil sekali pendapatan seorang anggota dewan". Dan jika dilihat dari sudat pandang masyarakat Indonesia secara umum dengan Upah Minimum Propinsi di seluruh Indonesia tahun 2018 yang tertinggi adalah di DKI Jakarta yaitu sebesar Rp3.648.035 per bulan. Mengenai berapa besarnya Upah minimum Propinsi dan Upah minimum Kabupaten / kota di seluruh indonesia terbaru bisa dibaca di https://www.cermati.com/artikel/gaji-umr-terkini-yang-pekerja-wajib-tahu.
Mari kita bandingkan UMRP tertinggi di Indonesia yaitu DKI Jakarta sebesar Rp3.648.035 per bulan dengan pendapatan yang diterima oleh seorang anggota dewan ( DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota ). Dibawah ini adalah uraian tentang pendapatan seorang anggota DPRD.
Sesuai dengan Surat Edaran Setjen DPRRI No.KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 terkait dengan Gaji Pokok dan Tunjangan anggota DPR RI setiap bulannya. Berdasarkan surat edaran tersebut maka total penghasilan ( take home pay ) yang diterima oleh seorang anggota DPR-RI apabila merangkap sebagai ketua alat kelengkapan DPR sebsar Rp 54,9 juta per bulan, dan penghasilan seorang anggota DPR-RI yang merangkap sebagai Anggota Alat Kelengkapan DPR akan menerima penghasilan sebesar Rp 51,5 juta per bulan. Bandingkan dengan UMP DKI Jakarta sebagai Provinsi dengan UMP tertinggi di Indonesia sebesar Rp 3.648.035 per bulan.
Menurut www.liputan6.com/news/read/518319/rincian-gaji-anggota-dpr-ri-totalnya-mencapai-rp-1-m-per-bulan menuliskan tentang Rincian Gaji anggota DPR RI Masa Bhakti 2004-2009 ( pendapatan Rutin perbulan ) meliputi :
Gaji pokok: Rp 15.510.000
Tunjangan Listrik: Rp 5.496.000
Tunjangan Aspirasi: Rp 7.200.000
Tunjangan kehormatan: Rp 3.150.000 naik menjadi Rp3.720.000 per bulan
Tunjangan Komunikasi: Rp 12.000.000
Tunjangan Pengawasan: Rp 2.100.000
Total: Rp 46.100.000/bulan
Data tersebut diatas belum termasuk penerimaan non bulanan atau penerimaan tidak rutin seperti :
1. Gaji ke-13: Rp 16.400.000
2. Dana penyerapan (reses): Rp31.500.000 ( dalam 1 tahun sidang ada 4 x reses )
3. Dana uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) sebesar Rp 5.000.000 per kegiatan.
4. Dana kebijakan insentif legislatif sebesar Rp 1.000.000 per RUU.
5. Fasilitas kredit mobil Rp 70.000.000 per orang per periode
6. Biaya perjalanan paket PP sesuai daerah yang dituju
7. Uang kegiatan / perjalanan sebesar Rp 500.000 per hari untuk Daerah Tk I , Rp 400.000 per hari untuk Daerah Tingkat II. Ditambah uang Representasi sebesar Rp 400.000 untuk Daerah Tk I, Rp 300.000 untuk Daerah Tk II. Dengan keterangan jumlah hari kunjungan paling lama 7 hari per sepekan untuk Kunjungan Kerja tiap anggota Dewan dan bagi team komisi per gabungan paling lama 5 hari per pekan.
8. Perlengkapan rumah secara lengkap
9. Biaya pemeliharaan rumah untuk RJA Kalibata, Jakarta Selatan Rp 3.000.000 per rumah per tahun dan untuk RJA Ulujami, Jakarta Barat Rp 5.000.000 per rumah per tahun
10. Fasilitas Kesehatan oleh PT Askes untuk anggota DPR dan anggota keluarga termasuk anak angkat untuk provider ekslusif untuk rawat jalan dan rawat inap.
11. Mendapat uang duka jika anggota DPR wafat sebesar 3 bulan x gaji dan jika Tewas sebesar 6 bulan x gaji.
12. Jaminan hari tua ( Pensiun ) sebesar 60 % x gaji pokok ditambah tunjangan besar sebesar Rp 30.090 per jiwa per bulan.
13. belum lagi fasilitas baju, celana dalam, sepatu, parfum, makeup dan keperluan pribadi lainnya yang terkadang jumlahnya menurut kami terlalu dibuat- buat dan fantastis.
Bagaimana menurut anda tentang uraian pendapatan seorang anggota DPR-RI diatas, Pendapatan seorang anggota DPR-RI seperti kami uraikan diatas dibebankan kepada APBN. Hal senada juga pada Anggota DPRD, menurut nasional.tempo.co tertanggal 13 Juli 2017 " Gaji Anggota DPRD Boyolali Diklaim Tertinggi Se-Indonesia " dimana dikatakan pendapatan tertinggi anggota DPRD Kabupaten / Kota di seluruh Indonesia adalah pendapatan anggota DPRD Boyolali sebesar Rp 32 juta per bulan. Dijelaskan “Di Boyolali, take home pay ketua DPRD tembus Rp 50 juta,” tentu saja dengan Fasilitas penerimaan non bulanan atau penerimaan tidak rutin. Biaya sebesar itu x jumlah anggota DPRD Kabupaten / Kota sekitar 45 orang setiap bulan dikeluarkan dari APBD Kabupaten / kota.
Seperti kami jelaskan diatas jumlah tersebut akan dirasa sangat sedikit dan tidak ada artinya jika latar belakang anggota Dewan dari pengusaha atau artis papan atas tetapi jika dibandingkan dengan UMR atau UMP dan UMK berpuluh - puluh kali lipat.
Dan bagaimana dengan potongan - potongan yang harus dibawarkan oleh seorang anggota dewan seperti potongan fraksi, sumbangan untuk partai, termasuk konstituen, pembayaran pinjaman. Menurut anggota Komisi I DPRD Samarinda, Achmad Vananza seperti yang diberitakan oleh http://kaltim.prokal.co tentang anggota-dprd-ngaku-gaji-ludes-karena-potongan dikatakan potongan bisa mencapai Rp 10 juta tiap bulan. Menurut kami apa para pekerja penerima upah juga tidak menerima potongan - potongan ? Anggota dewan sudah tidak perlu membayar listrik, PDAM, tidak perlu beli pulsa tiap bulannya. Sedangkan para buruh ? harus membayar uang listrik, uang PDAM uang pulsa dan lain- lain walaupun besarnya tidak sebesar anggota Dewan.
Dengan pendapatan sebesar itu bagaimana mungkin wakil - wakil rakyat merasakan apa yang dirasakan oleh para buruh, para honorer, para sukwan ..... Para wakil rakyat hanya menerima masukan tetapi tidak merasakan langsung penederitaan rakyat. Lebih lebih ketika anggota DPR-RI harus stanby di Jakarta !!! bagaimana mereka memahami dan mengetahui yang sebenarnya dihadapi oleh rakyat di daerah - daerah. Lebih -lebih para wakil rakyat di nina bobokkan oleh kemewahan dan kenikmatan jabatan anggota Dewan. Berbanting terbaik dengan kondisi APBN Indonesia tahun 2018 yang Defisit anggaran sebesar Rp 325.936.600.000 (Pasal 21). Jika di ibaratkan sebuah rumah tangga maka sebaiknya pengeluaran disesuaikan dengan penerimaan, jika perlu pengeluaran di minimalisir agar bisa menabung. Tetapi kondisi ini berbanding terbalik dimana pengeluaran APBN 2018 dengan penerimaan APBN 2018 lebih banyak pengeluaran. Bukankah ini berarti UU no 15 tahun 2017 tentang APBN tahun anggaran 2018 adalah bukti dari gaya hidup boros yang diterapkan oleh Negara dan Bangsa Indonesia pada tahun anggaran 2018 ini.
Selain pendapatan yang 10 s/d 20 kali lipat UMR - UMP-UMK tersebut masih ada fasilitas super menguntungkan bagi seorang anggota dewan yaitu informasi. Khususnya tentang titipan - titipan anggota dewan (kami istilahkan dengan surat sakti anggota dewan)!!!!!. Kami secara pribadi sering mendengar beberapa pernyataan anggota Dewan dan orang - orang dekat anggota dewan yang mengatakan bahwa proyek- proyek anggota dewan yang paling banyak adalah proyek - proyek APBN maupun APBD tentang pengadaan barang dan jasa maupun proyek pembangunan. Dimana pemenang tender adalah CV atau PT yang sebelumnya adalah titipan dari anggota dewan. Tidak jarang CV pemenang tender adalah CV baru (kurang dari 2 tahun bahkan kurang dari 1 tahun berdirinya) memenangkan tender. Jika diusut akan tampak dengan jelas bahwa CV atau PT pemenang tender adalah titipan anggota dewan. Keadaan ini sepertinya sudah biasa dilakukan dikalangan DPR- RI, DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten / Kota. Tentu saja proses pemenangan tender sudah sesuai dengan perundang - undangan, tetapi prosesnya direkayasa sedemikian rupa. Seperti yang terjadi pada Proyek pengadaan Baju Dinas DPRD Banten tahun 2011 yang melibatkan anggota DPRD Banten " Upiyadi Moeslikh " seperti yang disampaikan oleh mantan Kasubag Umum Sekretariat DPRD yang bernama Fajar di Pengadilan Tipikor PN Serang pada 10-06-2013. Kasus ini juga menyeret sekretaris DPRD Banten " Dadi Rustandi " yang melibatkan CV Wijaya Makmur dan CV Bayu Kharisma sebagai pemenang tender, dan ternyata adalah titipan matan Ketua Komisi I DPRD Banten " Upiyadi Moeslikh " yang saat itu sebagai Komisi III. Informasinya bisa dibaca di https://news.detik.com/berita/2269620/pemenang-lelang-proyek-baju-dinas-ternyata-titipan-anggota-dprd
Gambar dari berbagai sumber
Dan menurut pemberitaan nasional.kompas.com " Marzuki : Banyak KKN pada Tender Proyek di Setjen DPPR " seperti yang dikatakan ketua DPR Marzuki Alie menyakini banyak penyimpangan dalam proses tender di Sekretariat Jendral DPR yaitu walaupun terlihat transparan dengan (diumumkan) tetapi banyak tender yang dilakukan dengan cara- cara diatur dan cenderung KKN. Dengan syarat - syarat yang aneh - aneh bagi perusahaan atau badan usaha peserta lelang. Dengan syarat yang aneh dan sukar tentu saja hanya perusahaan atau badan usaha tertentu yang bisa lolos sebagai peserta tender. Padahal syarat itu direkayasa agar perusahaan / badan usaha titipan anggota dewan yang bisa lolos dan menenangkan tender. Keadaan ini menurut kami bukan hal yang aneh, tetapi sudah umum dilakukan di daerah-daerah. Dan anehnya sangat sedikit yang terungkap, karena keahlian tutup rapat - rapat. Kemudian siapa yang diuntungkan ? tentu oknum anggota dewan. Jika dia berjiwa usaha maka dia melihat ini sebagai peluang. Benar dia dapat gaji kecil sebagai anggota dewan, tetapi jika mendapatkan proyek - proyek yang sebelumnya sudah di rekayasa maka pundi - pundi uang ke kantong mereka akan semakin banyak.
Fasilitas lainnya yang sering tidak terpantau adalah fasilitas bebas aturan hukum untuk anggota dewan dan keluarganya. Belum lagi ada fasilitas prioritas dalam kegiatan sehari - hari seperti pengurusan surat - surat di lembaga pemerintahan maupun lembaga Usaha Milik Negara. Kami sering melihat anggota DPR RI maupun DPRD maupun anggota keluarganya yang berlagak seperti menerobos lampu lalu lintas, tidak memakai helm atau tidak membawa surat - surat kendaraan, atau melakukan hal - hal kriminal ringan yang seolah - oleh bebas mereka lakukan.
Menurut kami ini adalah keadaan yang sangat memprihatinkan, pelayan masyarakat yang menjadi BOS atas BOS nya sendiri yaitu rakyat dan masyarakat. Bukankah anggota Dewan, Bupati, Gubenur hingga Presiden serta pejabat - pejabat publlik lainnya adalah pelayan masyarakat ? jika mereka pelayan siapa "juragannya " bukankah rakyat dan masyarakat ?. Disisi lain juga ada istilah mereka adalah pimpinan !, tetapi jangan lupa mereka adalah pemimpin dari para pelayan masyarakat, sebagai pemimpin dari para pelayan mereka diangkat menjadi kepala desa, camat, bupati, gubenur, prsiden, anggota dewan! bukan pemimpin masyarakat. Karena yang menjadi "juragan" adalah masyarakat dan rakyat.
Semoga artikel ini bermanfaat.
0 komentar:
Post a Comment